top of page

Kamu Bukan Orang Batak? Jangan Harap Jadi Advokat!

  • Yohanna Tania (170906301)
  • May 21, 2018
  • 3 min read

Ketika saya masih duduk di kelas XII, saya pernah bercita-cita ingin menjadi Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena saya sangat tidak menyukai orang yang melanggar hukum. Ketika saya mengutarakan hal ini kepada Mama saya, Mama saya tidak mendukung saya, justru menyalahkan saya.

"Kamu mau jadi JPU? Yang ada kamu kalah terus. Masuk ke dunia advokasi itu perlu keterampilan berdebat, kalo kamu gak bisa, bukannya penjahat semua ketangkep dipenjara, malah berhasil dibebaskan."

Hmm. Oke, saya menyadari kata-kata mama saya ada benarnya. Masuk ke dunia advokasi perlu keterampilan berdebat, dan apa yang diperdebatkan bukan perkara yang sederhana. Sekali kita kalah dalam perdebatan tersebut, banyak resiko yang harus ditanggung : jumlah penjahat yang mengancam negara ini tidak jadi berkurang. Korban kejahatan tidak jadi merasa secure, tapi justru merasa insecure dan takut jika si penjahat kembali berbuat jahat kepadanya. Terlebih lagi, kita sendiri sebagai JPU merasa gagal dan tidak berguna.

Namun, apakah itu artinya orang-orang yang kalem dan tidak bisa berdebat tidak boleh masuk ke dunia advokasi? Apakah dunia advokasi hanya khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang jago berdebat atau dalam hal ini orang Batak?

Jawabannya TIDAK! BIG NO!

Setiap manusia punya peluang untuk menggapai cita-citanya, tidak peduli apapun etnis mereka, apapun gender mereka, apapun agama mereka. Kemampuan untuk berdebat, pada khususnya adalah kemampuan krusial dalam profesi pada bidang advokasi, namun bukan berarti orang-orang yang tidak bisa berdebat tidak berhak untuk berprofesi sebagai advokat.

Pada dasarnya, ada dua jenis kemampuan, yaitu kemampuan nature, yang diperoleh secara alami, merupakan bakat sejak lahir, dan juga kemampuan nurture, yaitu kemampuan yang diperoleh karena sering berlatih. Kemampuan berdebat juga bukan pondasi utama yang diperlukan untuk sukses dalam profesi di bidang advokasi. Di atas kemampuan berdebat, ada hal yang lebih penting, yaitu attitude (integritas terus berpegang pada kebenaran dan tidak mau menerima sogokan), dan penguasaan materi dan kitab-kitab yang diperlukan. Bayangkan bila kita tidak menguasai kitab-kitab dan pasal-pasal dalam perundang-undangan, namun kita jago berdebat. Maka argumen-argumen kita hanya merupakan argumen kosong yang tidak berdasar, sehingga dengan mudahnya kita akan dikalahkan oleh lawan debat kita.

Ketika kita tidak memiliki kemampuan nature, namun kita tekun untuk berlatih dan belajar, maka kita akan memiliki kemampuan nurture. Dan sebenarnya, kemampuan nurture ini jauh lebih baik daripada kemampuan nature. Sama saja percuma jika kita memiliki kemampuan nature tapi tidak menggunakannya dengan baik.

Namun, mengapa kebanyakan orang berpikiran bahwa orang Jawa (orang halus) tidak layak untuk menjadi advokat? Hal ini karena kebanyakan advokat di Indonesia adalah orang Batak. Sebut saja, Hotman Paris Hutapea, O. C. Kaligis, Hotma Sitompul, Rohut Sitompul. Bahkan ketika saya mencari dengan kata kunci "pengacara terkenal" di google, yang keluar adalah nama-nama yang baru saja saya sebut ini.

Bukan berarti semua advokat terkenal adalah orang Batak, semua advokat yang baik adalah orang Batak, sehingga orang yang bukan Batak pasti bukan advokat yang baik, kan?

Apa yang kita lihat di google adalah apa yang media katakan. Maka tidak heran hal tersebut dapat mempengaruhi pandangan kita mengenai "advokat yang baik". Media memang punya power untuk membentuk pola pikir masyarakat.

Namun apa yang media katakan seringkali bukan kebenaran yang mutlak, karena hal itu hanyalah resume dari opini mayoritas masyarakat. Oleh sebab itu, keep strong! Tidak ada profesi yang cocok untuk satu suku dan profesi yang tidak cocok untuk suku lain. Semua profesi cocok dan layak untuk diperjuangkan, terlepas dari apa kata media, dan apa suku kita. Raihlah cita-cita kita setinggi langit.

Daftar Pustaka :

https://blog.ipleaders.in/lawyer-holding-clients-document/ (sumber gambar)

 
 
 

Comments


Kamu Bukan Orang Batak? Jangan Harap Jadi Advokat!

  • Yohanna Tania (170906301)
  • May 21, 2018
  • 3 min read

Ketika saya masih duduk di kelas XII, saya pernah bercita-cita ingin menjadi Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena saya sangat tidak menyukai orang yang melanggar hukum. Ketika saya mengutarakan hal ini kepada Mama saya, Mama saya tidak mendukung saya, justru menyalahkan saya.

"Kamu mau jadi JPU? Yang ada kamu kalah terus. Masuk ke dunia advokasi itu perlu keterampilan berdebat, kalo kamu gak bisa, bukannya penjahat semua ketangkep dipenjara, malah berhasil dibebaskan."

Hmm. Oke, saya menyadari kata-kata mama saya ada benarnya. Masuk ke dunia advokasi perlu keterampilan berdebat, dan apa yang diperdebatkan bukan perkara yang sederhana. Sekali kita kalah dalam perdebatan tersebut, banyak resiko yang harus ditanggung : jumlah penjahat yang mengancam negara ini tidak jadi berkurang. Korban kejahatan tidak jadi merasa secure, tapi justru merasa insecure dan takut jika si penjahat kembali berbuat jahat kepadanya. Terlebih lagi, kita sendiri sebagai JPU merasa gagal dan tidak berguna.

Namun, apakah itu artinya orang-orang yang kalem dan tidak bisa berdebat tidak boleh masuk ke dunia advokasi? Apakah dunia advokasi hanya khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang jago berdebat atau dalam hal ini orang Batak?

Jawabannya TIDAK! BIG NO!

Setiap manusia punya peluang untuk menggapai cita-citanya, tidak peduli apapun etnis mereka, apapun gender mereka, apapun agama mereka. Kemampuan untuk berdebat, pada khususnya adalah kemampuan krusial dalam profesi pada bidang advokasi, namun bukan berarti orang-orang yang tidak bisa berdebat tidak berhak untuk berprofesi sebagai advokat.

Pada dasarnya, ada dua jenis kemampuan, yaitu kemampuan nature, yang diperoleh secara alami, merupakan bakat sejak lahir, dan juga kemampuan nurture, yaitu kemampuan yang diperoleh karena sering berlatih. Kemampuan berdebat juga bukan pondasi utama yang diperlukan untuk sukses dalam profesi di bidang advokasi. Di atas kemampuan berdebat, ada hal yang lebih penting, yaitu attitude (integritas terus berpegang pada kebenaran dan tidak mau menerima sogokan), dan penguasaan materi dan kitab-kitab yang diperlukan. Bayangkan bila kita tidak menguasai kitab-kitab dan pasal-pasal dalam perundang-undangan, namun kita jago berdebat. Maka argumen-argumen kita hanya merupakan argumen kosong yang tidak berdasar, sehingga dengan mudahnya kita akan dikalahkan oleh lawan debat kita.

Ketika kita tidak memiliki kemampuan nature, namun kita tekun untuk berlatih dan belajar, maka kita akan memiliki kemampuan nurture. Dan sebenarnya, kemampuan nurture ini jauh lebih baik daripada kemampuan nature. Sama saja percuma jika kita memiliki kemampuan nature tapi tidak menggunakannya dengan baik.

Namun, mengapa kebanyakan orang berpikiran bahwa orang Jawa (orang halus) tidak layak untuk menjadi advokat? Hal ini karena kebanyakan advokat di Indonesia adalah orang Batak. Sebut saja, Hotman Paris Hutapea, O. C. Kaligis, Hotma Sitompul, Rohut Sitompul. Bahkan ketika saya mencari dengan kata kunci "pengacara terkenal" di google, yang keluar adalah nama-nama yang baru saja saya sebut ini.

Bukan berarti semua advokat terkenal adalah orang Batak, semua advokat yang baik adalah orang Batak, sehingga orang yang bukan Batak pasti bukan advokat yang baik, kan?

Apa yang kita lihat di google adalah apa yang media katakan. Maka tidak heran hal tersebut dapat mempengaruhi pandangan kita mengenai "advokat yang baik". Media memang punya power untuk membentuk pola pikir masyarakat.

Namun apa yang media katakan seringkali bukan kebenaran yang mutlak, karena hal itu hanyalah resume dari opini mayoritas masyarakat. Oleh sebab itu, keep strong! Tidak ada profesi yang cocok untuk satu suku dan profesi yang tidak cocok untuk suku lain. Semua profesi cocok dan layak untuk diperjuangkan, terlepas dari apa kata media, dan apa suku kita. Raihlah cita-cita kita setinggi langit.

Daftar Pustaka :

https://blog.ipleaders.in/lawyer-holding-clients-document/ (sumber gambar)

 
 
 

Comments


bottom of page